Jumat, 26 Desember 2014

OBLIGASI SYARIAH

RESUME
OBLIGASI SYARIAH

A. Pengertian Obligasi Syariah
Kata obligasi berasal dari bahasa belanda yaitu obligate atau obligaat, yang berarti kewajiban yang tidak dapat ditinggalkan atau surat hutang suatu pinjaman negara atau daerah atau perseroan dengan bunga tetap.
Obligasi syariah sebagai salah satu surat berharga dalam pasar modal syariah merupakan obligasi yang berbeda dengan obligasi konvensional. Obligasi syariah berkembang terutama karena adanya persamaan pendapat dalam konsep keuangan syariah bahwa bunga adalah riba. Adapun pendapat tetap yang dijanjikan diawal, seperti yang tertera dalam obligasi syariah juga merupakan riba karena itu instrumen-instrumen yang memiliki komponen bunga dikeluarkan dari investasi halal. Atas dasar itulah maka muncul instrumen obligasi syariah.
Pada awalnya, ketika obligasi syariah diperkenalkan penggunaan istilah “obligasi syariah” banyak di anggap kotradiktif dengan fakta bahwa obligasi sudah menjadi kata yang tak lepas dari bunga sehingga tidak dimungkinkan untuk disyariahkan. Hal ini terjadi karena obligasi memiliki pengertian sebagai surat berharga yang menunjukan bahwa penerbit obligasi meminjam sejumlah dana kepada masyarakat dan memiliki kewajiban untuk melakukan pembayaran bunga secara berkala.
Obligasi syariah dapat diperdagangkan di pasar sekunder. Perdaganagn obligasi syariah dipasar sekunder seperti perdaganagan saham yaitu untuk menjaga likuiditas. Hal ini dilakukan meskipun investor melakukan investasi pada obligasi syariah bisa melakukannya untuk kepentingan jangka waktu panjang.
Berdasarkan konsep itulah, dana dalam rangka pengembangan pasar modal syariah di indonesia maka Dewan Syariah Nasional mengeluarkan fatwa tentang obligasi syariah. Merujuk kepada fatwa Dewan Syariah Nasional No: 32/DSN-MUI/IX/2002, “ obligasi syariah merupakan suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten untuk membayar pendapatan Obligasi Syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.”
B. Prinsip Obligasi Syariah
1. Pembiayaan hanya untuk suatu transaksi atau suatu kegiatan usaha yang spesifik, dimana harus dapat diadakan pembukuan yang terpisah untuk menentukan manfaat yang timbul.
2. Hasil investasi yang diterima pemilik dana merupakan fungsi dari manfaat yang diterima perusahaan dari dana hasil penjualan obligasi, bukan dari kegiatan usaha yang lain.
3. Tidak boleh memberikan jaminan hasil usaha yang semata-mata merupakan fungsi waktu dari uang (time value of money).
4. Obligasi tidak dapat dipakai untuk menggantikan hutang yang sudah ada (bay al dayn bi al dayn).
5. Bila pemilik dana tidak harus menanggung rugi, maka pemilik usaha harus mengikat diri (aqad jaiz).
6. Pemilik dana dapat menerima pembagian dari pendapatan (revenue sharing), dimana pemilik usaha (emiten) mengikat diri untuk membatasi penggunaan pendapatan sebagai biaya usaha.
7. Obligasi dapat dijual kembali, baik kepada pemilik dana lainnya ataupun kepada emiten (bila sesuai dengan ketentuan).
8. Obligasi dapat dijual dibawah nilai pari (modal awal) kalau perusahaan mengalami kerugian.
9. Perubahan nilai pasar bukan berarti perubahan jumlah hutang.

C. Jenis produk obligasi syariah berdasrkan akadnya :
1) Obligasi Ijarah, yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau kad ijarah dimana suatu pihak bertindak sendiri atau melalui wakilnya menjual atau menyewakan hak manfaat atas suatu aset kepada pihak lain berdasarkan harga dan periode disepakati, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan aset itu sendiri. Sukuk ijarah dibedakan menjadi Ijarah Al-Muntahiya.
2) Obligasi mudharabah, yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad mudhorobah dimana suatu pihak menyediakan modal dan satu pihak lainnya menyediakan dan pihak lain menyediakan tenaga atau keahlian, keuntungan dari kerjasama tersebut akan dibagi berdasarkan perbandingan yang telah disetujui sebelumnya. Kerugian yang timbul akan ditanggung sepenuhnya oleh pihak yang menjadi penyedia modal.
3) Obligasi musyarokah yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad musyarokah dimana dua pihak atau lebih bekerjasama menggabungkan modal untuk membangun proyek baru, mengembangkan proyek yang telah ada, atau membiayai kegiatan usaha. Keuntungan maupun kerugian yang timbul ditanggung bersama sesuai dengan jumlah partisipasi modal masing-masing pihak.
4) Obligasi istisna’, yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad Istisna’ dimana para pihak menyepakati jual beli dalam rangka pembiayaan suatu proyek/barang. Adapun harga, waktu penyerahan, dan spesifikasi barang/proyek ditentukan terlebih dahulu berdasarkan kesepakatan.
D. Perbedaan Obligasi Syariah dengan Obligasi Konvensional
1) Tingkat pendapatan dalam obligasi syariah berdasarkan kepada tingkat rasio bagi hasil (nisbah) yang besarnya telah disepakati oleh pihak emiten dan investor, sedangkan pada obligasi konvensional menekankan pendapatan investasi berdasarkan tingkat suku bunga.
2) Sistem pengawasan obligasi syariah selain diawasi oleh pihak wali amanat, mekanismenya juga diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah (di bawah Majelis Ulama Indonesia) sejak dari penerbitan obligasi sampai akhir dari masa penerbitan obligasi tersebut. Dengan ada sistem ini, maka prinsip kehati-hatian pada perlindungan kepada investor obligasi syariah diharapkan bisa lebih terjamin, sedangkan obligasi konvensional pengawasannya hanya dilakukan oleh pihak wali amanat.
3) Jenis industri yang dikelola oleh emiten obligasi syariah serta hasil pendapatan perusahaan penerbit obligasi harus terhindar dari unsur nonhalal, dan harus bersifat berdasarkan transaksi riil, mengandung asas manfaat, dengan dasar uang bukan komoditas, serta tidak mengenal time value og money. Sedangkan pada obligasi konvensional tidak terdapat batasan apakah industri yang dikelola penerbit sesuai syariah atau tidak, tidak diharuskan berdasarkan transaksi riil, berdasar atas asas utilitas, serta uang menjadi komoditas, dan menganut time value of money dan opportunity cost.
Sumber :
Heykal Mohamad, tuntunan dan aplikasi Investasi Syariah,2012,PT Elex Media Komputindo, jakarta.
Nurul Huda dan Mustofa Edwin Nasution, Current Issues Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta:Prenada Media, 2009), hal:314
Burhanuddin. Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah. (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010). Hal: 140-141

PRINSIP DAN PRODUK BERBASIS GADAI

RESUME
PRINSIP DAN PRODUK BERBASIS GADAI

A. Pegadaian Konvensional
Pegadaian Konvensional (Umum) adalah suatu hak yang diperbolehkan seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak. Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seorang yang mempunyai utang atau oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai utang, seseorang yang berutang tersebut memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang untuk menggunakan barang bergerak yang telah diserahkan untuk melunasi utang apabila pihak yang berutang tidak dapat melunasi kewajibannya ada saat jatuh tempo.
Perusahaan umum Pegadaian adalah suatu badan usaha di Indonesia yang secara resmi mempunyai izin untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam bentuk penyaluran dana ke masyarakat atas dasar hukum gadai.
Secara umum pengertian usaha gadai adalah kegiatan menjaminkan barang-barang berharga kepada pihak tertentu, guna memperoleh sejumlah uang dan barang yang dijaminkan akan ditebus kembali sesuai dengan perjanjian antara nasabah dengan lembaga gadai.
B. Pengertian Pegadaian Syariah (Rahn)
Gadai Syariah (rahn) adalah menahan salah satu harta milik nasabah atau rahin sebagai barang jaminan atau marhun atas hutang/pinjaman atau marhun bih yang diterimannya. Marhun tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan atau penerima gadai atau murtahin memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atas sebagian piutangnya. Menurut A.A. Basyir, Rahn adalah perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan utang, atau menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan marhun bih, sehingga dengan adanya tanggungan utang itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima.
Menurut Imam Abu Zakaria Al Ansari, rahn adalah menjadikan benda yang bersifat harta untuk kepercayaan dari suatu marhun bih yang dapat dibayarkan dari harga benda marhun itu apabila marhun bih tidak dibayar. Sedangkan Imam Taqiyyuddin Abu bakar Al Husain mendefinisikan rahn sebagai akad/perjanjian utang-piutang dengan menjadikan marhun sebagai kepercayaan/penguat marhun bih dan murtahin berhak menjual/melelang barang yang digadaikan itu pada saat itu menuntut haknya. Barang yang dapat dijadikan jaminan utang adalah semua barang yang dapat diperjualbelikan, artinya semua barang yang dapat dijual itu dapat digadaikan.
Berdasarkan definisi di atas, disimpulkan bahwa rahn itu merupakan suatu akad utang-piutang dengan menjadikan barang yang memiliki nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan marhun bih, sehingga rahin boleh mengambil marhun bih.
Pinjaman dengan menggadaikan marhun sebagai jaminan marhun bih dalam bentuk rahn itu dibolehkan, dengan ketentuan bahwa murtahin, dalam hal ini Pegadaian Syariah, mempunyai hak menahan marhun semua marhun bih dilunasi. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin, yang pada prinsipnya tidak boleh dimanfaatkan murtahin, kecuali dengan seizin rahin, tanpa mengurangi nilainya, serta sekedar sebagai pengganti biaya pemeliraharaan dan perawatannya. Biaya pemeliharaan dan perawatan marhun adalah kewajiban rahin, yang tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah marhun bih. Apabila marhun bih telah jatuh tempo, maka murtahin memperingatkan rahin untuk segera melunasi marhun bih, jika tidak melunasi marhun bih, maka marhun dijual terpaksa melalui lelang sesuai syariah dan hasilnya digunakan untuk melunasi marhun bih, biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun yang belum dibayar, serta biaya pelanggan. Kelebihan hasil pelanggan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin.
C. Aplikasi Akad Rahn
Sesuai dengan perkembangan dan kemajuan ekonomi, rahn tidak hanya berlaku antar pribadi melainkan juga antar pribadi dan lembaga keuangan seperti bank.
Kontrak rahn dipakai dalam perbankan dalam dua hal berikut:
1. Produk Pelengkap
Rahn dipakai sebagai produk pelengkap artinya sebagai akad tambahan (jaminan atau collateral) terhadap produk lain seperti dalam pembiayaan bai’al-murabahah. Bank dapat menahan barang sebagai konsekuensi akad tersebut.
2. Produk Tersendiri
Akad rahn telah dipakai sebagai alternatif dari pegadaian konvensioanal. Bedanya dengan gadai biasa, dalam rahn nasabah tidak dikenakan bunga tetapi yang dipungut dari nasabah adalah biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan serta biaya penaksiran yang dipungut dan ditetapkan diawal perjanjian. Sedangkan dalam perjanjian gadai biasa, nasabah dibebankan juga bunga pinjaman yang dapat terakumulasi dan berlipat ganda.
D. Perbandingan Gadai Syariah (rahn) dengan Gadai konvensional
Secara prinsip, pegadaian konvensional berbeda dengan gadai syariah, berikut adalah tabel perbedaannya :
Perbandingan
Gadai dengan Rahn (Gadai Syari’ah)

INDIKATOR
RAHN (GADAI SYARI’AH)
GADAI KONVENSIONAL

Konsep
Dasar
Tolong Menolong (Jasa Pemeliharaan Barang Jaminan)
Profit Oriented (Bunga dari Pinjaman Pokok / Biaya Sewa Modal)

Jenis
Barang Jaminan
Barang Bergerak & Tidak Bergerak
Hanya Barang Bergerak

Beban
Biaya Pemeliharaan
Bunga (dari pokok pinjaman)

Lembaga
Bisa Dilakukan Perseorangan
Hanya bisa dilakukan oleh lembaga (perum Pegadaian)

Perlakuan Di jual (kelebihan dikembalikan kepada yang memiliki barang) Di lelang

Dari tabel di atas tertulis bahwa konsep dasar gadai syari'ah adalah tolong menolong. Pada dasarnya, ketika seseorang menggadaikan barang, sudah tentu dalam kondisi kesusahan. Karenanya, dalam mekanisme gadai syari'ah tidak membebankan bunga dari pinjaman. Dalam gadai dengan prinsip syari'ah, orang yang menggadaikan barangnya hanya diberikan kewajiban untuk memelihara barang yang dijadikan jaminan. Pemeliharaan barang jaminan, tentu merupakan kewajiban pemilik barang. Akan tetapi, untuk memudahkan maka pemeliharaan diserahkan kepada pegadaian dengan konsekuensi ada biaya pemeliharaan sebagai pengganti kewajiban pemilik barang dalam pemeliharaan. Besar kecilnya biaya, tidak tergantung besar kecilnya dana yang dipinjam. Akan tetapi, dilihat darinilai taksiran barang yang digadaikan. Berbeda halnya dengan pegadaian konvensional, dimana bunga di tarik dari besar kecilnya dana yang dipinjamkan.
Dilihat dari segi barang jaminanya, gadai syariah bisa berupa barang dan barang yang tidak bergerak sedangkan dalam pegadaian konvensional, hanya boleh menjaminkan barang bergerak saja. Pada pegadaian konvensional hanya melakukan satu akad perjanjian hutang piutang dengan jaminan barang bergerak yang jika ditinjau dari aspek hukum konvensional berbeda barang jaminan dengan gadai sehingga pegadaian konvensionl tidak bisa melakukan penahanan barang jaminan atau dengan kata lain melakukan praktik fidusia. Berbeda dengan pegadaian syariah yang mensyaratkan secara mutlak keberadaaan barang jaminan untuk membenarkan penarikan bea jasa simpanan.
Aplikasi dalam Perbankan
a. Sebagai produk pelengkap
Rahn dipakai sebagai produk pelengkap, artinya sebagai akad tambahan (jaminan/collateral) terhadap produk lain seperti dalam pembiayaan bai’ al-murabahah. Bank dapat menahan barang nasabah sebagai konsekuensi akad tersebut.
b. Sebagai produk tersendiri
Dibeberapa negara islam termasuk diantaranya adalah malaysia, akad rahn telah dipakai sebagai alternatif dari pegadaian konvensional. Bedanya dengan pegadaian biasa, dalam rahn nasabah tidak dikenakan bunga, yang dipungut dari nasabah adalah biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan, serta penaksiran.
Perbedaan utama antara biaya rahn dan bunga pegadaian adalah dari sifat bunga yang bisa berakumulasi dan berlipat ganda, sedangkan biaya rahn hanya sekali dan ditetapkan di muka.


Sumber :
http://imelblogku.blogspot.com/2014/10/bab-i-pendahuluan-a.html
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012.
Rais Sasli, Pegadaian Syariah: Konsep dan Sistem Operasional, Jakarta: Universitas Indonesia, 2005.
RivaiVeithzal ,Andria Permata Veithzal, Islamic Financial Management, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008.
Susanto Burhanuddin, Hukum Perbankan Syariah diIndonesia, Yogyakarta: UII press, 2008.
Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah : dari Teori ke Praktik. Jakarta : Gema Insani, 2001

PRINSIP DAN PRODUK BERBASIS AL-WADIAH

RESUME
PRINSIP DAN PRODUK BERBASIS AL-WADIAH


1. Pengertian Al-Wadiah
Dalam tradisi fiqih islam, prinsip titipan atau simpanan di kenal dengan prinsip al-wadiah. Al-wadiah dapat di artikan sebagai titipan murni dari satu pihak kepihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki. (dalam buku syafii antonio: 85)
Dalam Al-qur’an surat Al-Baqarah : 283
Artinya :” jika sebgian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (urungnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah tuhanya.”
An-Nisa: 58
Artinya :” sesungguhnya allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat (titipan), kepada yang berhak menerimanya.”
Dalam simpanan wadiah, bank menjaga uang anda dan membayarkanya kembali kepada anda sesuai permntaan. Tidak seperti simpanan konvensional, rekening wadiah tidak menjajnjikan imbalan jasa tetap meskipun bank memiliki wewenang atau direksi untuk memberi anda (hibah)/ hadiah. Karena bank memiliki wewenang, anda secara teori mungkn tidak mendapatkan imbalan sama sekali.
Dalam praktek, bank secara umum memang menawarkan hibah dalam bentuk tertentu. Jika bank syariah tidak melakukan hal demikian, akan sulit bagi mereka menarik dana dari nasabah. Akan tetapi, pada saat yang sama bank-bank syariah tidak bisa berjanji bahwa mereka pasti akan memberikan hibah kepada nasabah.
2. Ijma
Pada dasarnya, penerimaan simpanan adalah yad al-amanah (tangan amanah), artinya ia tidak bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan selama hal ini bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara barang titipan (karena faktor-faktor di luar batas kemampuan). Hal ini telah dikemukakan oleh rasullulah dalam suatu hadist.
“jaminan pertanggungjawaban tidak diminta dari peminjaman yang tidak menyalahgunakan (pinjaman) dan penerima titipan yang tidak lalai terhadap titipan tersebut.”
Akan tetapi, dalam aktivitas perekonomian moderen, si penerima simpanan tidak mungkin akan mengidlekan aset tersebut, tetapi mempergunakannya dalam aktivitas perekonomian tertentu. Karenanya, ia harus meminta izin dari si pemberi titipan untuk kemudian mempergunakan hartanya tersebut dengan catatan ia menjamin akan mengembalikan aset tersebut secara utuh. Dengan demikian, ia bukan lagi yad al-amanah, tetapi yad adh-dhamanah (tangan penanggung) yang bertanggung jawab atas segala kehilangan/kerusakan yang terjadi pada barang tersebut.
Ciri risiko dan imbalan hasil wadiah yad amanah


Risiko Ada kemungkinan, meskipun kecil, anda mendapatkan lebih sedikit dari apa yang anda simpan. Meskipun bank berjanji untuk melindungi dan menjaga uang anda, bank tidak memberikan jaminan 100% untuk membayar kembali uang anda.
Imbal hasil Tidak ada imbal hasil moneter yang dimungkinkan karena bank sekedar sepakat untuk menjaga uang anda.
3. Aplikasi perbankan
Dalam hal ini mengacu kepada yad adh-dhamanah sebagai konsekuensi dari yad adh-dhamananah, semua keuntungan yang di hasilkanya dari dana titipan tersebut menjadi milik bank (demikian juga ia adalah penanggung seluruh kemungkinan kerugian). Sebagian imbalan, si penyimpan mendapat jaminan keamanan terhadap hartanya, demikian juga fasilitas-faslitas giro lainya.
Demikian, bank sebagai penerima titipan, sekaligus juga pihak yang telah memanfaatkan dana tersebut, tidak dilarang untuk memberikan semacam insentif berupa bonus dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan jumlahnya tidak ditetapkan dalam nominal atau persentase secara advance tetapi betul-betul merupakan kebijakan dari manajemen bank.
Ciri risiko dan imbalan hasil wadiah yad dhamanah
Risiko Simpanan pokok anda dijamin. Sehingga anda tidak mendapatkan kurang dari apa yang anda simpan.
Imbal hasil Imbal hasil yang tidak pasti diberikan sesuai dengan diskresi bank.

Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw. Yang diriwayatkan dari abu rafie bahwa Rasulullah saw. Pernah meminta seseorang untuk meminjamkannya seekor unta. Diberikanya unta kurban (berumur sekitar dua tahun). Setelah selang beberapa waktu, Rasulullah saw memerintahkan abu rafie untuk mengembaliakan unta tersebut kepada pemiliknya, tetapi abu rafie kembali kepada pemiliknya, tetapi abu rafie kembali kepada Rasulullah saw seraya berkata “ ya Rasululloh , unta yang sepadan tidak kami temukan yang ada hanya unta yang lebih besar dan berumur empat tahun”
Rasulullah saw berkata “ berikanlah itu karena sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah yang terbaik ketika membayar.” (HR.Muslim)
Dari hadist di atas jelas bahwa bonus sama sekali berbeda dari bunga , baik dalam prinsip maupun sumber pengambilan. Dalam praktiknya, nilai nominalnya mungkin akan lebih kecil,sama atau lebih besar dari nilai suku bunga.
Dalam dunia perbankan moderen yang penuh dengan kompetisi, insentif semacam ini dapat dijadikan sebagai banking policy dalam upaya merangsang semangat masyarakat dalam menabung, sekaligus sebagi indikator kesehatan bank terkait. Hal ini karena semakin besar nilai keuntungan yang diberikan kepada penabung dalam bentuk bonus, semakin efisien pula pemanfaatan dana tersebut dalam investasi yang produktif dan menguntungkan.



Sumber :
Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah : dari Teori ke Praktik. Jakarta : Gema Insani, 2001
Abdullah, daud vicary dkk. Buku Pintar Keuangan Syariah. Jakarta : Zaman, 2012



Minggu, 07 Desember 2014

PRINSIP DAN PRODAK BERBASIS AL-QARDH

RESUME
PRINSIP DAN PRODUK BERBASIS AL-QARDH

A. Pengertian al-Qardh
Kata qardh menurut bahasa arab yang artinya “memangkas” . dalam situasi pembiayaan, kata ini berarti “memangkas” bagian tertentu dari kekayaan kreditor (pemberi pinjaman) dan memberikanya sebagai pinjaman bagi debitor. (menurut daud vicary abdullah dan keon chee, 2012 hal 254)
Al-qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan. Dalam literatur fiqih klasik, qardh dikategorikan dalam aqd tathawwui atau akad saling membantu dan bukan transaksi komersial.
B. Landasan Syariah
Transaksi qardh diperbolehkan oleh para ulama berdasarkan hadist riwayat ibnu majjah dan ijma ulama. Sungguhpun demikian, Allah SWT mengajarkan kepada kita agar meminjamkan sesuatu bagi “agama Allah”.
• Al-Qur’an
Dalam surat Al-Hadiid : 11
Artinya: “ siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Allah akan melipat gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.”
Yang menjadi landasan dalail ayat ini adalah kita diseru untuk “meminjamkan kepada Allah”, artinya untuk membelanjakan harta di jalan Allah.
Selaras dengan meminjamkan kepda Allah, kita juga diseruuntuk “ meminjamkan kepada sesama manusia”, sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat.
• Al-Hadist
Dalam HR Ibnu Majah no.2421, kitab al-Ahkam ; Ibnu Hibban dan Baihaqi
Artinya : “ibnu mas’ud meriwayatkan bahwa Nabi saw. Berkata, “Bukan seorang muslim (mereka) yang meminjamkan muslim (lainnya) dua kali kecuali yang satunya adalah (senilai) sedekah”
• Ijma
Para ulama telah menyepakati bahwa al-qardh boleh dilakukan. Kesepakatan ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak ada seorangpun yang memiliki segala barang yang ia butuhkan. Oleh karena itu, pinjam-meminjam sudah menjadi satu bagian dari kehidupan di dunia ini. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan segenap kebutuhan umatnya.

C. Aplikasi dalam Perbankan
Akad qardh biasanya diterapkan sebagi berikut:
1. Sebagi produk pelengkap kepada nasabah yang telah terbukti loyalitas dan bonafiditasnya, yang membutuhkan dana talangan segera untuk masa yang relatif pendek. Nasabah tersebut akan mengembalikan secepatnya sejumlah uang yang dipinjamnya itu.
2. Sebagai fasilitas nasabah yang memerlukan dana cepat, sedangkan ia tidak bisa menarik dananya karena, misalnya tersimpan dalam bentuk deposito.
3. Sebagai produk untuk menyumbang usaha yang sangat kecil atau membantu sektor sosial. Guan pemenuhan skema khusus ini telah di kenal suatu produk khusus yaitu al –qardh al-hasan
D. Sumber Dana
Sifat al-qardh tidak memberi keuntungan finansial. Karena itu, pendanaan qardh dapat diambil menurut kategori berikut.
1. Al-qardh yang diperlukan untuk membantu keuangan nasabah secara cepat dan berjangka pendek. Talangan dana di atas dapat diambilkan dari modal bank.
2. Al-qardh yang diperlukan untuk membantu usaha sangat kecil dan keperluan sosial, dapat bersumber dari dana zakat, infak, dan sedekah. Di samping sumber dana umat, para praktisi perbankan syariah, demikian juga ulama, melihat adanya sumber dana lain yang dapat dialokasikan untuk qardh al-hasan, yaitu pendapatan-pendapatan yang diragukan, seperti jasa nostro di bank koresponden yang konvensional, bunga atas jaminan L/C di bank asing, dan sebagianya. Salah satu pertimbangan pemanfaatan dana-dana ini adalah kaidah akhaffuh dhararain (mengambil mudharat yang lebih kecil). Hal ini mengingat jika dana umat muslim dibiarkan di lembaga-lembaga non muslim mungkin dapat dipergunakan untuk sesuatu yang merugikan islam, misalnya dana kaum muslimin Arab di bank-bank Yahudi switzerland. Oleh karenanya, dana yang parkir tersebut lebih baik diambil dan dimanfaatkan untuk penanggualangan bencana alam atau membantu dhu’afa.
E. Manfaat al-Qardh
Manfaat akad al-qardh banyak sekali, di antaranya:
1. Memungkinkan nasabah yang sedang dalam kesulitan mendesak untuk mendapat talangan jangka pendek
2. Al-qardh al-hasan juga merupakan salah satu ciri pembeda antara bank syariah dan bank konvensional yang di dalamnya terkandung misi sosial, di samping misi komersial.
3. Adanya misi sosial kemasyarakatan ini akan meningkatkan citra baik dan meningkatkan loyalitas masyakarakat terhadap bank syariah.
Risiko dalam al-qardh terhitung tinggi karena ia dianggap pembiayaan yang tidak di tutup dengan jaminan.


Sumber :
Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah : dari Teori ke Praktik. Jakarta : Gema Insani, 2001
Abdullah, daud vicary dkk. Buku Pintar Keuangan Syariah. Jakarta : Zaman, 2012

PRINSIP DAN PRODUK TERHADAP AL-IJARAH

RESUME
PRINSIP-PRINSIP DAN PRODUK TERHADAP AL-IJARAH

A. AL-IJARAH
1. Pengertian al-ijarah
Al-ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri.
2. Landasan Syariah
Al-Qur’an
Dalam surat al-baqarah ayat 233
Artinya “ dan,jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Yang menjadi dalil dari ayat tadi adalah ungkapan “apabila kamu memberikan pembayaran yang patut”. Ungkapan tersebut menunjukan adanya jasa yang diberikan berkat kewajiban membayar upah (fee) secara patut. Dalam hal ini termasuk di dalamnya jasa penyewaan atau leasing.
Al-hadist
Artinya: “ diriwayatkan dari ibnu abbas bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “berkembanglah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu.” (HR Bukhari dan Muslim)
B. Al-IJARAH AL-MUNTAHIA BIT-TAMLIK
1. Pengertian al-ijarah al-muntahia bit-tamlik
Transaksi yang disebut dengan al-ijarah al-muntahia bit-tamlik (IMB) adalah sejenis perpaduan anatara kontrak jual beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang di akhiri dengan kepemilikan barang di tangan si penyewa. Sifat pemindahan kepemilikan ini pula yang membedakan dengan ijarah biasa.
2. Bentuk al-ijarah al-muntahia bit-tamlik
Al-ijarah al-muntahia bit-tamlik memiliki banyak bentuk, bergantung pada apa yang disepakati kedua pihak yang berkontrak. Misalnya al-ijarah dan janji menjual nilai sewa yang mereka tentukan dalam al-ijarah harga barang dalam transaksi jual dan kapan kepemilikan dipindahkan.
3. Aplikasi dalam perbankan
Bank-bank islam mengoprasiakn produk al-ijarah, dapat melakukan leasing, baik dalam bentuk operating lease maupun finacial lease. Akan tetapi pada umumnya, bank-bank tersebut lebih banyak menggunakan al-ijarah al-muntahia bit-tamlik karena lebih sederhana dari sisi pembukuan. Selain itu bank pun tidak direpotkan untuk mengurus pemeliharaan aset, baik pada saat leasing maupun sesudahnya.
4. Manfaat dan risiko yang harus diantisipasi
Manfaat dari transaksi al-ijarah untuk bank adalah keuntungan sewa dan kembalinya uang pokok. Adapun risiko yang mungkin terjadi dalam al-ijarah adalah
• Default, nasabah tidak membayar cicilan dengan sengaja
• Rusak, aset ijarah rusak sehingga menyebabkan biaya pemeliharaan bertambah, terutama bila disebutkan dalam kontrak bahwa pemeliharaan harus dilakukan oleh bank.
• Berhenti, nasabah berhenti ditengah kontrak dan tidak mau membeli asaet tersebut. Akibatnya, bank harus menghitung kembali keuntungan dan mengembalikan sebagian kepada nasabah.



Sumber :
Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah : dari Teori ke Praktik. Jakarta : Gema Insani, 2001