Sabtu, 11 Januari 2014

LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH DAN LEMBAGA KEUANGAN KONVENSIONAL

LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH DAN LEMBAGA KEUANGAN KONVENSIONAL

A.    Pengertian Lembaga Keuangan
Lembaga keuangan adalah badan usaha yang kekayaannya terutama dalam bentuk aset keuangan atau tagihan (claims) dibandingkan aset nonfinancial atau aset ril. Lembaga keuangan memberikaan kredit kepada nasabah dan menanamkan dananya dalam surat-surat berharga. Di samping itu, lembaga keuangan juga menawarkan berbagai jasa keuangan antara lain menawarkan berbagai jenis skema tabungan, proteksi asuransi, program pensiun, penyediaan sistem pembayaran dan mekanisme transfer dana. Lembaga keuangan merupakan bagian dari sistem keuangan dalam ekonomi moderen yang melayani masyarakat pemakai jasa-jasa keuangan. Dalam masyarakatsederhana, aktivitas seperti ini tidak adanya peran bank dan lembaga keuangan, mungkin tidak terlalu menjadi masalah. Namun dalam masyarakat yang semakin berkembang saat ini, peran bank dan lembaga keuangan lainnya sangatlah penting, khususnya sebagai lembaga mediasi antara pihak yang memiliki dana dan yang membutuhkan dana.  
B.     Pengertian lembaga keuangan syariah
Lembaga keuangan syariah adalah lembaga yang dalam aktifitasnya, baik penghimpunan dana maupun dalam rangka penyaluran dananya memberikan dan mengenakan imbalan atau dasar prinsip syariah yaitu jual beli dan bagi hasil.
Yang dimaksud dengan mengkhususkan diri untuk melakukan kegiatan tertentu adalah melaksanakan kegiatan pembiayaan jangka panjang, pembiayaan untuk mengembangkan koperasi, pengembangan pengusaha golongan ekonomi lemah atau pengusaha kecil, pengembangan ekspor non migasi dan pengembangan pembangunan perumahaan.

C.    Mekanisme lembaga keuangan syariah
Lembaga Keuangan Syariah, dalam setiap transaksi tidak mengenal bunga, baik dalam menghimpun tabungan investasi masyarakat ataupun dalam pembiayaan bagi dunia usaha yang membutuhkannya. Menurut Dr. M. Umer Chapra , penghapusan bunga akan menghilangkan sumber ketidakadilan antara penyedia dana dan pengusaha. Keuntungan total pada modal akan dibagi di antara kedua pihak menurut keadilan. Pihak penyedia dana tidak akan dijamin dengan laju keuntungan di depan meskipun bisnis itu ternyata tidak menguntungkan.
Sistem bunga akan merugikan penghimpunan modal, baik suku bunga tersebut tinggi maupun rendah. Suku bunga yang tinggi akan menghukum pengusaha sehingga akan menghambat investasi dan formasi modal yang pada akhirnya akan menimbulkan penurunan dalam produktivitas dan kesempatan kerja serta laju pertumbuhan yang rendah. Suku bunga yang rendah akan menghukum para penabung dan menimbulkan ketidakmerataan pendapatan dan kekayaan, karena suku bunga yang rendah akan mengurangi rasio tabungan kotor, merangsang pengeluaran konsumtif sehingga akan menimbulkan tekanan inflasioner, serta mendorong investasi yang tidak produktif dan spekulatif yang pada akhirnya akan menciptakan kelangkaan modal dan menurunnya kualitas investasi.
Ciri-ciri sebuah Lembaga Keuangan Syariah dapat dilihat dari hal-hal sebagai berikut:
1. Dalam menerima titipan dan investasi, Lembaga Keuangan Syariah harus sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas Syariah;
2. Hubungan antara investor (penyimpan dana), pengguna dana, dan Lembaga Keuangan Syariah sebagai intermediary institution, berdasarkan kemitraan, bukan hubungan debitur-kreditur;
3. Bisnis Lembaga Keuangan Syariah bukan hanya berdasarkan profit orianted, tetapi juga falah orianted, yakni kemakmuran di dunia dan kebahagiaan di akhirat;
4. Konsep yang digunakan dalam transaksi Lembaga Syariah berdasarkan prinsip kemitraan bagi hasil, jual beli atau sewa menyewa guna transaksi komersial, dan pinjam-meminjam (qardh/ kredit) guna transaksi sosial;
5. Lembaga Keuangan Syariah hanya melakukan investasi yang halal dan tidak menimbulkan kemudharatan serta tidak merugikan syiar Islam
Dalam membangun sebuah usaha, salah satu yang dibutuhkan adalah modal. Modal dalam pengertian ekonomi syariah bukan hanya uang, tetapi meliputi materi baik berupa uang ataupun materi lainnya, serta kemampuan dan kesempatan. Salah satu modal yang penting adalah sumber daya insani yang mempunyai kemampuan di bidangnya.
D.    Mekanisme lembaga keuangan konvensional
Kegiatan usaha bank dalam melakukan penghimpunan dana masyarakat maupun dalam penyaluran dana dilakukan melalui produksi jasa keuangan. Hal ini karena produksi jasa keuangan dan bank dapat memoengaruhi perbedaan uang di masyarakat, serta berpengaruh terhadap perekonomian. Oleh karena itu, produksi jasa keuangan bank diatur oleh peraturan yang sifatnya mengikat dalam kegiatan oprasional bank, sehingga dapat memberikan keamanan bagi masyarakat dalam menyimpan dananya maupun bagi stabilitas ekonomi nasional.
Dalam kehidupan moderen seperti sekarang ini, umat islam hampir tidak dapat menghindari diri dari bermuamalah dengan bank konvensional, yang memakai sistem bunga dalam segala aspek kehidupanya, termasuk kehidupan agamnya. Misalnya, ibadah haji di indonesia, umat islam harus memakai jasa bank. Tanpa jasa bank, perekonomian indonesia tidak selancar dan semaju seperti sekarang ini. Para ulama dan cendikiawan muslim masih tetap berbeda pendapat tentang hukum bemuamalah dengan bank konvensional dan hukum bunga bank.
Maka dari itu dengan sistem yang seperti ini kita sebagai penerus bangsa indonesia terutama umat islam kita harus meneapkan prinsip-prinsip islam dalam bank, dan sekrang-sekarang ini banyak muncul bank-bank yang berbasis syariah akan tetapi belum begitu sempurna dengan menggunakan prinsip-prinsip syariah ada terdapat beberapa yang tidak sesuai dengan cara kerja yang semestinya harus ada di bank syariah, maka dari itu kita sebagai mahasiswa yang sedang mendalami ekonomi syariah harus merubahnya dengan prinsip syariah yang sebenarnya, supaya umat islam percaya bahwa di bank syariah lebih enak dan tidak merugikan karena dalam lembaga keuangan syariah tidak adanya sistem buga akan tetapi dalam lembaga keuangan syariah ada sistem bagi hasil.
E.     Perbandingan lembaga keuangan syariah dan lembaga keuangan konvensional
Secara singkat, perbedaan antara sistem konvensional dengan  sistem syariah pada lembaga keuangan dapat digambarkan sebagai berikut:
Bank
Bank konvensional menerapkan sistem pinjam-meminjam dengan menggunakan sistem bunga yang merupakan tambahan atas pinjaman,  di mana tambahan ini atau bunga diharamkan dalam syariah Islam. Dalam hal ini, apapun yang terjadi dengan yang meminjam uang, baik untung maupun rugi, maka yang meminjam harus membayar bunga sesuai dengan yang ditetapkan oleh Bank.
Sementara Bank syariah tidak menerapkan sistem pinjam-meminjam, melainkan sistem kerjasama atau jual beli.  Misalnya kerjasama antara pemilik modal dengan pengusaha (mudharobah), yang disepakati adalah jika untung, maka dilakukan pembagian keuntungan dengan proporsi yang ditetapkan atau disepakati.  Bisa juga jual beli (murabahah), di mana bank menjual suatu barang dengan mengambil marjin keuntungan, kemudian dicicil dengan cicilan tetap.  Dan bentuk-bentuk transaksi lain yang disediakan oleh Bank.
Ada sebagian orang mengatakan tidak ada bedanya antara konvensiaonal dengan syariah.  Ini adalah salah mutlak.  Pada konvensional, murni menggunakan sistem bunga, sedangkan syariah tidak menggunakan sistem bunga.  Dalam hal margin yang digunakan hampir sama dengan bunga, tidaklah menjadi alasan untuk membenarkan pendapat sebagian orang tersebut. Untuk menentukan marjin keuntungan, bank boleh saja menghitung dengan ‘benchmark’ pada perhitungan yang ada, namun transaksi yang dilakukan harus sesuai dengan kaidah-kaidah syariah, di mana ada transaksi dengan underlying assetnya, dan ada akad yang menyertainya.
Perusahaan Kredit
Kredit konvensional prinsipnya meminjamkan uang kepada nasabah untuk membeli suatu barang, di mana uang tersebut dikenakan bunga kemudian pengembaliannya dicicil sampai lunas.  Sementara kredit syariah, perusahaan kredit membeli barang kemudian menambahkan marjin keuntungannya, setelah itu dihitiung cicilannya tetap sampai lunas (murabahah) .  Seperti halnya pada transaksi murabahah  di bank, marjin keuntungan boleh saja dihitung dengan ‘benchmark’ pada perhitungan yang ada, namun transaksi yang dilakukan harus sesuai dengan kaidah-kaidah syariah, di mana ada transaksi dengan underlying assetnya, dan ada akad yang menyertainya.
Asuransi
Pada asuransi konvensional, terjadi transfer resiko dari nasabah ke perusahaan asuransi, dalam hal ini ada ketidakpastian dan jika terjadi kerugian maka perusahaan asuransi akan menanggung risiko yang sangat besar, sebaliknya jika tidak terjadi kerugian maka nasabah tidak mendapatkan apa-apa.  Jadi ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan pada kedua sisi.
Sementara Asuransi syariah, akadnya adalah tolong menolong sesama peserta asuransi. Perushaan asuransi hanya mengelola saja, untuk itu perusahaan mendapat fee atas pengelolaan.  Premi yang dibayar oleh nasabah merupakan dana sumbangan yang dikumpulkan untuk saling tolong menolong di antara sesama nasabah jika terjadi kerugian pada salah satu nasabah.  Jika terjadi kerugian pada satu nasabah, maka kumpulan dana sumbangan tersebut yang akan digunakan untuk membayar klaim.  Dalam hal ini perusahaan aasauransi syariah tidak mengalami kerugian sama sekali.  Sebaliknya jika nasabah tidak mengalamai musibah, yang bersangkutan juga tidak mengalami kerugian atas preminya, karena akadnya ketika membayar premi adalah atas dasar tolong-menolong sesama peserta.
Reksadana, Saham, dll
Reksadana maupun saham yang ditransaksikan secara konvensional, tidak memperhatikan apakan transaksi tersebut bersifat spekulatif atau tidak dan demikian juga dengan jenis instrumen yang ditransaksikan tidak melihat apakah emitennya comply secara syariah ataupun tidak. Sementara reksadana syariah maupun saham syariah, emiten atau instrumennya haruslah comply dengan syariah.  Adapun instrumen maupun saham yang sesuai syariah tersebut dapat mengacu pada Fatwa MUI yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional.
Lembaga keuangan islam (bank)
Lembaga keuangan konvensional (bank)
Melakukan investasi-investasi yang halal saja
Investasi yang hala dan haram
Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli atau sewa
Memakai perangkat bunga
Profit dan falah oriented
Profit oriented
Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan
Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan debitor-debitor
Penghimpunaan dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa dewan pengawasan syariah.
Tidak terdaoat dewan sejenis.

Kesimpulan
Bagi yang ingin menerapkan syariah dalam transaksi keuangannya, cukup pilih lembaga keuangan syariah sesuai dengan kebutuhannya.  Tidak perlu berdebat apakah ada bedanya atau tidak ada bedanya dengan konvensional, karena sudah ada yang memikirkannya dan ada Dewan syariah yang mengawasinya. Karena kalau kita berdebat terus, maka lembaga syariah yang ada tidak akan pernah maju.  Tentunya jika masih ada yang belum 100% sesuai syariah, para praktisi dan MUI akan menyempurnakannya.  Tugas kita adalah menjalankannya dan memberikan masukan untuk perbaikan. Dengan demikian, syariah akan maju seperti yang terjadi di Malaysia
Sumber :
Antonio, muhammad syafi’i, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, 2001, Gema Insani; Jakarta

http: rizal-febri.blogspot.com

Rabu, 01 Januari 2014

LEMBAGA ZAKAT DAN WAKAF


LEMBAGA ZAKAT DAN WAKAF

A.    Pengertian

Zakat secara harfiah mempunyai makna pensucian, pertumbuhan, berkah. Menurut istilah zakat berarti kewajiban seorang muslim untuk mengeluarkan nilai bersih dari kekayaan nya yang tidak melebihi satu nisab, diberikan kepada mustahik dengan beberapa syarat yang telah ditentukan.
Menurut Hamdan Rasyid, di dalam al-qur’an kata zakat disebutkan sebanyak 32 kali dan sebagian besar beriringan dengan kata shalat. Bahkan jika digabung dengan perintah untuk memnerikan infak, sedekah untuk kebaikan dan memberi makan fakir miskin maka jumlahnya mencapai 115 kali.
Zakat menurut UU No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.
B.     Pengertian Wakaf
Wakaf diambil dari kata “waqafa” yang berarti menahan atau berhenti. Dalam hukum islam wakaf berarti menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama (zatnya) kepada seseorang atau nadzir (penjaga wakaf), baik berupa perorangan maupun badan pengelola dalam hal ini bisa bank syariah maupun lembaga swasta dalam ketentuan hasil atau manfaatnya digunakan sesuai dengan syariat islam. Harta yang telah diwakfkan keluar dari hak milik yang mewakafkan, dan bukan pula menjadi hak milik nadzir tetapi menjadi hak milik Allah dalam pengertian masyarakat umum.
Wakaf tunai
R
Dalam wakaf terdapat 4 rukun, yaitu:
a.       Al Wakif: Orang yang melakukan perbuatan wakaf hendaklah dalam keadaan sehat rohaninya dan tidak dalam keaddan terpaksa atau dalam keaddan jiwanya tertekan.
b.      Al Mauquf: Harta benda yang diwakafkan harus jelas wujudnya atau zatnya yang bersifat abadi, artinya bahwa harta itu tidak habis sekali pakai dan dapat diambil manfaatnya dalam jangka waktu yang lama.
c.       Al Mawqul ‘alaih: Sasaran yang berhak menerima hasil atau manfaat wakaf dapat dibagi menjadi dua macam, wakaf khairi dimana wakaf dimana wakifnya tidak membatasi sasaran wakafnya untuk pihak tertentu tapi untuk kepentingan umum, sedangkan wakaf dzurri adalah wakaf dimana wakifnya membatasi sasaran wakafnya untuk pihak tertentu, yaitu keluarga keturunannya.
d.      Sighah: Pernyataan pemberian wakaf, baik dengan lafadz, tulisan, maupun isyarat.
                             


Tujuan dari penggalangan wakaf tunai adalah:
a.       Menggalang tabungan sosial dan mentranformasikan tabungan sosial menjadi modal sosial serta membantu mengembangkan pasar modal sosial.
b.      Meningkatkan investasi sosial.
c.       Menyisihkan sebagian keuntungan dari sumber daya orang kaya/berkecukupan kepada fakir miskin dan anak-anak generasi berikutnya.
d.      Menciptakan kesadaran diantara orang-orang kaya/berkecukupan menggali tanggung jawab sosial mereka terhadap masyarakat sekitarnya.
e.       Menciptakan integrasi antara keamanan dan kedamaian sosial serta meningkatkan kesejahteraan.

C.    Perbandingan zakat dan wakaf pada masa Rasululloh dengan masa sekarang
·         Pada masa Rasulullah
Pada awalnya diwajibkan zakat pada masa Rasulluloh SAW pelaksana zakat ditangani sendiri oleh Rasul SAW. Beliau mengirim para petugasnya untuk menarik zakat dari orang-orang yang ditetepkan sebgai pembayar zakat, lalu dicatat dikumpilkan di jaga dan akhirnya dibagi kepada para penerima zakat (al-asnaf al-samaniyyah), Rasullulah SAW pernah memperkerjakan seorang pemuda dari suku asad yang bernama ibnu lutaibah untuk mengurus urusan zakat bani sulaim. Pernah pula mengutus ali bin Abi thalib ke yaman untuk menjadi amil zakat. Muaz bin Jabal pernah di utus Rasullulah SAW pergi ke yaman, di samping bertugas sebagai da’i (menjelasakan islam secara umum) juga mempunyai tugasa khusus menjadi amil zakat. Demikian pula yang dilakukan oleh para khulafah ar-rasyidin sesudahnya, mereka selalu mempunyai petugas khusus yang mengatur masalah zakat, baik pengambilan maupun pendistribusiannya. Diambil zakat dari muzaki ( orang yang memiliki kewajiban berzakat ) melaui amil zakat untuk kemudian disalurkan kepada mustahik, menunjukan kewajiban zakat itu bukanlah semata-mata bersifat amal karitatif (kedermawanan), tetapi juga ia suatu kewajiban yang juga bersifat otoritatif (ijabari).
Dalam kontek kenegaraan, zakat seharusnya menjadi bagian utama dalam penerimaan negara. Zakat seharusnya menjadi bagian utama dalam penerimaan negara. Zakat harus masuk dalam kerangka kebijakan fiskal negara dan bukan hanya dijadikan pengeluaran pengurangan penghasilan kena pajak, karena justru akan mengurangi pendapatan negara. Zakat harus dikelola oleh negara dan ditegakan hukumnya dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur berbagai aspek tentang zakat.
·         Pada masa sekrang
Masyarakat Indonesia banyak berwakaf dan sedikit berzakat pada saat awal colonial, pra kemerdekaan dan kemerdekaan. Karena itu permasalahan mendasar. Sebelum zaman orde baru, praktek zakat di Indonesia hanya sebatas zakat fitrah yang dilakukan umat Muslim sekali setahun pada bulan Ramadhan saja, walaupun ada zakat maal yang objeknya hanya zakat tanaman hasil panen. Sedangkan zakat perniagaan dan zakat emas tidak diterapkan.Pada masa pemerintahan kolonial, zakat dan wakaf tidak semata-mata digunakan untuk kepentingan agama. Hasil zakat dan wakaf merupakan alat politik sebagai dukungan materi untuk gerakan pemberontakan melawan penguasa kolonial saat itu. Oleh karena itu zakat mengundang perhatian masyarakat kolonial. Jika makin besar dana zakat yang dikumpulkan masyarakat Muslim Indonesia, takutnya digunakan untuk dana pemberontakan melawan mereka.
Sebagai upaya agar wakaf dan zakat tidak digunakan untuk kesejahteraan sosial di kalangan masyarakat Muslim serta tujuan politik. Maka zakat sering digunakan oleh pejabat agama dan pemerintah kolonial untuk mensubsidi upacara perayaan resmi atau untuk perbaikan kantor negara. Kondisi wakaf dan zakat tidak dapat dipisahkan dari peran organisasi Muslim di Indonesia. Mereka berfungsi sebagai agen sosial dan perkembangan agama. Metode yang diterapkan pun beragam, mulai dari mengikuti prinsip-prinsip sistem ritual sesuai dengan fiqh klasik, ataupun modern seperti diatur oleh departemen tertentu dengan memberikan manfaat bagi sekolah-sekolah, rumah sakit dan kegiatan sosial.
Meskipun perkembangan zakat terlihat signifikan berkat pertumbuhan lembaga amil zakat, namun beberapa masalah masih belum terselesaikan mengenai sinergi antara lembaga amil zakat dan antara pemerintah dan lembaga amil zakat. Dengan kata lain, masing-masing lembaga zakat memiliki program dn misi sendiri tanpa koordinasi dan kerjasama dengan lembaga lain sebagai sarana untuk memaksimalkan dampak dan menghindari tumpang tindih.
Adanya kelemahan negara dalam melayani masyarakat, maka wajar jika banyak bermunculan lembaga independen yang menangani zakat. Dan dengan munculnya lembaga independen ini,banyak terdapat persaingan yang memunculkan oknum. Maka, dibutuhkan regulasi sebagai jaminan aman masyarakat terhadap operasional lembaga ini.
Dalam proses perjalanan sejarah, maka pada tanggal 23 September 1999 Bangsa Indonesia telah memiliki hukum berupa Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, yang pelaksanaan dan pedoman teknis diatur  dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 581 Tahun 1999 yang telah disempurnakan dengan keputusan Menteri Agama No.373 tahun 2003 dan Keputusan Direktur Jenderal bimbingan Masyarakat Nomor D-29 Tahun 2000. Dengan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan zakat tersebut selangkah lebih maju Bangsa Indonesia untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam penunaian dan pelayanan ibadah zakat khususnya bagi umat Islam, karena zakat sebagai rukun Islam merupakan kewajiban setiap muslim yang mampu untuk membayarnya dan diperuntukkan bagi mereka yang berhak menerimanya. Dengan pengelolaan yang baik (profesional, amanah, transparan dan bertanggung jawab) maka zakat merupakan sumber dana  potensial yang dapat dimanfaatkan untuk memajukan bagi kesejahteraan masyarakat terutama pengentasan kemiskinan dan pemberantasan kesenjangan sosial.
Dalam Undang-undang 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat disebutkan antara lain:
1.      Pengelolaan Zakat adalah kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta pendayagunaan zakat. (pasal 1 ayat 1)
2.      Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. (pasal 1 ayat 1)
3.      Setiap warga negara Indonesia yang beragama Islam dan mampu atau badan yang dimiliki oleh orang Muslim berkewajiban menunaikan zakat. (pasal 2)
4.      Pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan, pembinaan dan pelayanan kepada muzaki, mustahiq, dan amil zakat. (pasal 3)
5.      Pengelolaan zakat berdasarkan iman dan taqwa, keterbukaan, dan kepastian hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. (pasal 4)
Pengelolaan Zakat bertujuan :
1.      Meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntutan agama.
2.      Meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.
3.      Meningkatnya hasil guna dan daya guna zakat.
4.      Pengelolaan zakat dilakukan oleh Badan Amil Zakat yang dibentuk oleh pemerintah  sesuai dengan tingkatan dan Lembaga Amil Zakat yang dibentuk masyarakat dan dikukuhkan oleh pemerintah.
Pengelolaan zakat juga mencakup pengelolaan infaq, shadaqah, hibah, wasiat, waris, dan kafarat.Untuk menjamin pengelolaan zakat sebagai amanah agama, dalam undang-undang ini ditentukan adanya unsur pertimbangan dan unsur pengawas yang terdiri dari atas ulama, kaum cendekia dan masyarakat.
Selama ini potensi zakat di Indonesia belum dikembangkan secara optimal dan belum dikelola secara profesional. Hal ini disebabkan belum efektifnya Lembaga Zakat yang menyangkut aspek pengumpulan administrasi, pendistribusian, monitoring serta evaluasinya. Dengan kata lain, Sistem Organsisasi dan Manajemen Pengelolaan Zakat hingga kini dinilai masih bertaraf klasikal, bersifat konsumtif dan terkesan Inefisiensi sehingga kurang berdampak sosial yang berarti.
Dengan alasan tersebut maka sangatlah penting peran Pemerintah dalam mengatasi masalah zakat tersebut. Melalui Lembaga Amil Zakat baik di Pusat maupun di Daerah diharapkan pengelolaan zakat dapat optimal. Peran Pemerintah dengan dikeluarkannya UU No. 38 Tahun 1999, tentang Pengelolaan Zakat telah membawa dampak positif bagi Umat Islam dalam mengelola zakat dari para muzakki.
Sumber :
Soemitra, andri. Bank dan lembaga keuangan syariah,(Jakarta: kencana media grup,2009)
arifantora.blogspot.com
Hadinoto ,Pandji. Sejarah Zakat dari Zaman Pra-Islam. Online.

Hudarsono,Heri. 2004. Konsep Ekonomi Islam : Suatu Pengantar. Yogyakarta : Ekonisia.