Selasa, 17 Juni 2014

AYAT TENTANG BERHUTANG UNTUK JANGKA WAKTU TERBATAS



AYAT TENTANG BERHUTANG UNTUK JANGKA WAKTU TERBATAS

Dalam surat Al-baqarah ayat 282
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang
penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu),
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi
sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya
atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang
lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya.
janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil;
dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai
batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu.
(Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis
dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka
Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada
Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
Maksud dari ayat di atas bahwasannya
1.      Hendaklah Dituliskan Segala Utang Piutang
$ygr’¯»يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang
penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu),
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi
sedikitpun daripada hutangnya……..
Kata “Dain” atau utang terdapat antara dua orang yang hendak berjual, karena yang seorang meminta supaya dia tidak membayar tunai melainkan dengan utang. Muamalah seperti ini diperbolehkan syara` dengan syarat ditangguhkannya pembayaran itu sampai satu tempo yang ditentukan. Tidak sah menagguhkan pembayaran itu dengan tidak jelas tempo pembayarannya.
Selanjutnya ayat itu menjelaskan, bahwa orang yang berutang sendiri hendaklah mengucapkan utangnya dan tempo pembayarannya dengan cara imlak atau didektekan maka barulah juru tulis itu menuliskan apa yang telah diimlakkan nyaitu, dengan tidak merusak sedikit jua pun dari perjanjian dan jumlah utang yang telah dikatakannya. .  (Abdul Halim
Hasan. 2006:168)
Allah SWT memerintahkan kepada kaum muslimim agar memelihara muamalah
utang-utangnya masalah qiradh dan silm yaitu barangnya belakangan tetapi uangnya dimuka yang menjual barang pada waktu yang telah ditentukan agar menulis sangkutan tersebut. Juru tulis adalah orang yang adil yang tidak memihak sebelah pihak saja. Hendaknya yang emberi utang mengutarakan maksudnya agar ditulis oleh juru tulis dan tidak mengurangi sedikitpun hak orang lain demi kepentingan pribadi. (Ahmad Musthafa Al Maraghi, 1986:127)
2.      Jika Yang Berutang Seorang Yang Dungu
فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ
….. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur……
Kata “safih” ialah orang yang dungu, orang bodoh, yang otaknya mengalami gangguan
atau seorang boros dan mubazir yang memboroskan uangnya ketempat yang tidak berguna. Orang “daif” ialah orang yang sudah terlalu tua atau anak-anak yang belum baligh. Dalam keadaan itu wali mereka itulah yang bertindak mengimlakkan akad maka apabila tidak ada yaitu dengan hakim.
3.      Dua Orang Saksi Dalam Utang Piutang
َاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى
……Jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya……
Ayat ini menerangkan, bahwa orang yang hendak mengadakan utang piutang hendaklah menghadapkan kepada dua orang saksi laki-laki muslim atau dua orang laki-laki dan dua orang perermpuan. Kesaksian dua orang permpuan sama dengan kesaksian seorang laki-laki menurut malik dan syafi`I.  jika diantaranya terlupa maka dapat diingatkan oleh orang yang lain yang disyaratkan kepada perempuan karena perempuan itulah lebih lemah dari laki-laki.
4.     Saksi Janganlah Enggan
وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا
……Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil…..
Sebagian ulama menerangkan, bahwa saksi-saksi yang dimaksud disini ialah saksi-saksi yang telah menyaksikan utang piutang itu sejak dari awal. Jika seseorang diminta akan menyaksikan suatu hal, maka janganlah mereka merasa enggan untuk menjadi saksi. Maka apabila saksi itu diperlukan, terutama dalam permulaan mengikat janji dan membuat surat
janganlah hendaknya merasa enggan malahan dia termasuk amalan yang baik yaitu turut memperlancar perjanjian antara dua orang sesame islam, dia boleh hanya enggan kalau menurut pengetahuannya ada lagi orang lain yang lebih tahu duduk soal daripada dirinya sendiri. Adapun dikemudian hari terjadi kekacauan padahal umumnya sudah turut tertulis menjadi saksi sedangkan ia tiak berhalangan untuk datang tentulah salah buat dirinya sendiri. ( Hamka, 1983:83-84)
5.     Jangan Bosan Mencatat
وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ
….dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan
lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu),kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu,Maka tidak ada dosabagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlahapabila kamu berjual beli……
            Janganbosan menuliskan disini dimaksudkan yaitu menuliskan sekalian utang piutang, baik yang kecil maupun yang besar. Dituliskan jumlahnya dan tempo pembayarannya. Itulah yang lebih adil karena jika perselisihan tentulah kesaksian yang tertulis itu lebih adil dan lebih dapat membantu menjelaskan kebenaran.
  Ayat ini merupakan dalil yangmenunjukkan bahwa tulisan merupakan bukti yang dapat diterima apabila sudah memennuhi syarat, dan penulisan ini wajib untuk urusan kecil maupun besar juga tidak boleh meremehkan hak sehingga tidak hilang.
6. Juru Tulis Janganlah Merugikan
 وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
…….Jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah;……….
Kata “Wala Yudharra” dapat diartikan dengan dua makna yaitu, jangan memberi
mudarat dan jangan menanggung mudarat. Menurut arti yang pertama, juru tulis atau
saksi janganlah berlaku curang dalam menuliskan atau menyaksikannya baik
terhadap orang yang berutang maupun terhadap or ang yang berpiutang.  (Abdul Halim Hasan. 2006:168-175)

Jadi intinya bahwasannya ayat tersebut apabila terjadi transaksi jual beli atau pinjaman hendaknya jelas dikemukakan syarat-syarat pembayarannya termasuk waktu pembayarannya. Hendaknya ditulis dan diperkuat oleh dua orang saksi. Penulis dan saksi hendaklah bersifat adil dan dapat dipercaya sehingga tidak terjadi kecurangan. Bagi yang tidak mampu menutarakan keinginannya dapat meminta wali.
Ayat ini menerangkan bahwa dalam utang piutang atau transaksi yang tidak kontan
hendaklah untuk dituliskan sehingga ketika ada perselisihan dapat dibuktikan.
Dalam kegiatan ini pula diwajibkan untuk ada dua orang saksi yang adil dan
tidak merugikan pihak manapun, saksi ini adalah orang yang mennyaksikan proses
utang piutang secara langsung dan dari awal.
            Dalam menuliskan utang piutang haruslah dngan jelas atas kesepakatan kedua belah pihak baik waktu dan jumlah utangnya. Bagi yang tidak punya kemampuan dalam mengutarakan keinginanya dapat diwakilkan kepada walinya. Keadaaan yang seperti ini diperbolehkan dengan syara` dengan ketentuan tidak adanya salah satu pihak yang merasa dirugikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar